GEOLOGI REGIONAL
Yang dimaksud dengan Pegunungan Selatan adalah pegunungan
yang terletak pada bagian selatan Jawa Tengah, mulai dari bagian tenggara dari
provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memanjang ke arah timur sepanjang pantai
selatan Jawa Timur.
Secara
morfologis daerah Pegunungan Selatan merupakan pegunungan yang dapat dibedakan
menjadi 3 satuan morfologi utama, yaitu:
- Satuan morfologi perbukitan berrelief sedang sampai
kuat, yaitu daerah yang ditempati oleh batupasir dan breksi vulkanik dan
batuan beku dari Formasi Semilir, Nglanggran atau Wuni dan Besole. Daerah
ini terdapat mulai dari daerah sekitar Imogiri di bagian barat, memanjang
ke utara hingga Prambanan, membelok ke timur (Pegunungan Baturagung) dan
terus ke arah timur melewati Perbukitan Panggung, Plopoh, Kambengan hingga
di kawasan yang terpotong oleh jalan raya antara Pacitan-Slahung.
- Satuan dataran tinggi terdapat di daerah Gading,
Wonosari, Playen hingga Semanu. Daerah ini rata-rata berketinggian 400 m
di atas muka laut, dengan topografi yang hampir rata dan pada umumnya
ditempati oleh batugamping.
- Satuan perbukitan kerucut, meliputi daerah dari
sebelah timur Parangtritis memanjang ke timur melewati daerah Baron,
Sadang terus ke timur melewati Punung hingga ke daearh sekitar Pacitan.
Daerah ini tersusun oleh bukit-bukit kecil maupun berbentuk kerucut,
tersusun oleh batugamping klastik maupun jenis batugamping yang lain.
Diantara ketiga satuan
morfologi tersebut diatas di sebelah selatan terdapat suatu dataran rendah
luas, mulai Wonogiri di utara hingga Giritrontro-Pracimantoro di selatan.
Dataran lini dikelilingi oleh unsur-unsur geologis Pegunungan Selatan,
sedangkan bagian bawah dialasi oleh batugamping Formasi Kepek yang tertutup
oleh endapan Kuarter. Dataran rendah ini disebut sebagai Depresi
Wonogiri-Baturetno, yang saat ini sebagian besar merupakan daerah genangan
Waduk Gajahmungkur.
II.2 Stratigrafi Regional
Dari penyimpulan hasil peneliti terdahulu,
secara garis besar stratigrafi daerah Pegunungan dapat dinyatakan dalam dua
macam urutan. Yang pertama adalah
stratigrafi bagian barat, yang pada dasarnya bersumber kepada hasil penelitian
Bothe (1929). Sedangkan bagian timur, yang terletak di sebelah selatan dan
tenggara depresi Wonogiri-Baturetno urutan stratigrafinya disusun oleh Sartono
(1958).
II.2.1 Stratigrafi
Pegunungan Selatan bagian barat
Pegunungan
Selatan bagian barat secara umum tersusun oleh batuan sedimen volkaniklastik
dan batuan karbonat. Batuan volkaniklastiknya sebagian besar terbentuk oleh
pengendapan gayaberat (gravity
depositional processes) yang menghasilkan endapan kurang lebih setebal 4000
meter. Hampir seluruh batuan sedimen tersebut mempunyai kemiringan ke selatan.
Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat dari tua ke muda
adalah :
- Formasi
Kebo-Butak
- Formasi
Semilir
- Formasi
Nglanggran
- Formasi
Sambipitu
- Formasi
Oyo-Wonosari
- Endapan
Kuarter
1. Formasi Kebo-Butak
Formasi ini secara umum terdiri dari
konglomerat, batupasir dan batulempung yang menunjukkan kenampakan pengendapan
arus turbid maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah, yang oleh
Bothe disebut sebagai Kebo beds tersusun atas perselang selingan antara
batupasir, batulanau dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit,
dengan perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung.
Bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan beku.
Bagian atas dari Formasi ini, yang disebut
sebagai Anggota Butak, tersusun oleh perulangan batupasir konglomeratan yang
bergradasi menjadi lempung atau lanau, ketebalan total dari Formasi iin kurang
lebih 800 m. Urutan batuan yang membentuk Formasi Kebo-Butak ini ditafsirkan
terbentuk pada lingkungan lower submarine
fan dengan beberapa interupsi pengendapan tipe mid fan (Rahardjo, 1983), yang terbentuk pada akhir Oligosen
(N2-N3) (Sumarso & Ismoyowati, 1975; van Gorsel et al., 1987).
2. Formasi Semilir
Secara umum Formasi ini tersusun oleh
batupasir dan batulanau yang bersifat tufan, ringan, kadang-kadang dijumpai
selaan breksi vulkanik. Fragmen yang membentuk breksi maupun batupasir pada
umumnya berupa fragmen batuapung yang bersifat asam. Di lapangan pada umumnya menunjukkan perlapisan yang
baik, struktur-struktur yang mencirikan turbidit banyak dijumpai. Langkanya
kandungan fosil pada formasi ini menunjukkan bahwa pengendapanyya berlangsung
secara cepat atau pengendapan tersebut terjadi pada lingkungan yang sangat
dalam, berada di bawah ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil
gampingan sudah mengalami korosi sebelum dapat mencapai dasar pengendapan. Umur
dari Formasi ini diduga adalah awal dari Miosen (N4) berdasar atas terdapatnya Globigerinoides primordius pada bagian
yang bersifat lempungan dari formasi ini di dekat Piyungan (van Gorsel, 1987).
Formasi Semilir ini menumpang secara selaras di atas Anggota Butak dari Formasi
Kebo-Butak. Tersingkap secara baik di wilayah tipenya yaitu di tebing gawir
baturagung di bawah puncak Semilir.
3. Formasi
Nglanggran
Berbeda dengan
formasi yang sebelumnya, formasi Nglanggran ini tercirikan oleh penyusun utama
berupa breksi dengan penyusun material vulkanik, tidak menunjukkan perlapisan
yang baik dengan ketebalan yang cukup besar. Bagian yang terkasar dari
breksinya hampir seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah lava andesit dan juga
bom andesit. Diantara masa breksi tersebut ditemukan sisipan lava yang sebagian
besar telah mengalami breksiasi.
Formasi ini
ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang berasal dari gunung
api bawah laut, dalam lingkungan laut dan proses pengendapan berjalan cepat,
yaitu hanya selama awal Miosen (N4).
Singkapan
utama dari Formasi ini ada di gunung Nglanggranpada perbukitan Baturagung.
Kontaknya dengan Formasi Semilir di bawahnya berupa kontak tajam. Hal ini
berakibat bahwa formasi Nglanggran sering dianggap tidak selaras di atas
Semilir, namun harus diperhatikan bahwa kontak tajam tersebut dapat terjadi
akibat berubahnya mekanisme pengendapan akibat gayaberat. Van Gorsel (1987)
menganggap bahwa pengandapan Nglanggran ini dapat diibaratkan sebagai proses
runtunhnya gunungapi semacam Krakatau yang berada di lingkungan laut.
Ke arah atas
yaitu ke arah Formasi Sambipitu, Formasi Nglanggran berubah secara bergradasi,
seperti yang terlihat di singkapan di Sungai Putat. Lokasi yang diamati untuk
EGR tahun 2002 berada pada sisi lain sungai Putat, dimana kontak kedua formasi
ini ditunjukkan oleh kontak struktural.
4. Formasi
Sambipitu
Di atas
Formasi Nglanggran terdapat formasi batuan yang menunjukkan ciri-ciri terbidit,
yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun terutama oleh batupasir yang
bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah,
batupasirnyamasih menunjukkan sifat vulkanik sedang ke atas sifat vulkanik ini
berubah menjadi batupair yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini
sering dijumpai fragmen dari koral dan forminifera besar yang berasal dari
lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret masuk ke dalam lingkungan yang
lebih dalam akibat pengaruh arus turbid.
Ke arah atas,
Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi Wonosari (Anggota
Oyo) seperti yang terlihat pada singkapan pada sungai Widoro di dekat Bunder.
Formasi Sambipitu terbentuk selama jaman Miosen, yaitu antara N4-N8 (Kadar,
1986) atau NN2-NN5 (Kadar, 1990).
5. Formasi
Oyo-Wonosari
Selaras di
atas formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo-Wonosari. Formasi ini terdiri
terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hampir setengah
bagian selatan dari Pegunungan Selatan memanjang ke arah timur, membelok ke
arah utara di sebelah timur perbukitan Panggung hingga mencapai bagian barat
dari daearh depresi Wonogiri-Baturetno.
Bagian
terbawah dari Formasi Oyo-Wonosari terutama terdiri dari batugamping berlapis
yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang diendapkan pada kondisi laut
yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan pada daerah dekat muara
sungai batugamping berlapis, menunjukkan gradasi butir dan pada bagian yang
halus banyak dijumpai fosil jejak tipe burrow
yang terdapat pada bidang permukaan
perlapisan ataupun memotong sejajar
dengan perlapisan. Batugamping kelompok ini disebut sebagai Anggota Oyo dari
Formasi Wonosari (Bothe, 1929) atau Formasi Oyo (Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha
dkk,1994).
Ke arah lebih
muda, Anggota Oyo ini bergradasi menjadio dua Fasies yang berbeda. Di daerah
Wonosari, batugamping ini makin ke arah selatan semakin berubah menjadi
batugamping terumbu yang berupa rudstone,
framestone, dan floatstone, bersifat
lebih keras dan dinamakan sebagai Anggota Wonosari dari Formasi Oyo-Wonosari
(Bothe, 1929) atau Formasi Wonosari (Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk, 1994).
Sedangkan di baratdaya kota Wonosari, batugamping terumbu ini berubah fasies
menjadi batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal, dan disebut sebagai
Anggota Kepek dari Formasi Wonosari. Anggota Kepek ini juga tersingkap di
bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri-Baturetno, di bawah endapan
Kuarter seperti yang terdapat di daerah Erokomo. Secara keseluruhan, Formasi
Wonosari ini terbentuk selama Miosen Akhir (N9-N18).
6. Endapan
Kuarter
Di atas seri batuan sedimen Tersier seperti tersebut di
depan terdapat suatu kelompok sedimen yang sudah agak mengeras sehingga masih
lepas. Karena kelompok sedimen ini berada di atas bidang erosi, serta proises
pembentukannya masih berlanjut hingg saat ini, maka secara keseluruhan sedimen
ini disebut sebagai Endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari daerah
timurlaut Wonosari hingga daerah depresi Wonogiri-Baturetno. Singkapan yang
baik dari endapan kuarter ini terdapat di daerah Erokomo sekitar waduk Gadjah
Mungkur, namun pada EGR ini tidak dilewati.
Secara stratigrafis endapan kuarter di daearh Eropkromo,
Wonogriri terletak tidak selaras di atas sedimen Tersier yang berupa
batugamping berlapis dari Formasi Wonosari atau breksi polimik dari formasi
Nglanggran. Ketebalan tersingkap dari endapan Kuarter tersebut berkisar dari 10
meter hingga 14 meter. Umur endapan Kuarter tersebut diperkirakan Plistosen
Bawah.
Stratigrafi endapan kuarter di daerah Erokomo, Wonogiri
secara vertikal tersusun dari perulangan antara tuf halus putih kekuningan
dengan perulangan gradasi batuipasir kasar ke batupasir sedang dengan
lensa-lensa konglomerat. Batupasir tersebut berstruktur silangsiur tipe palung,
sedangkan lapisan tuf terdapat di bagian bawah tengah dan atas. Pada saat
lapisan tuf terbentuk, terjadi juga aktivitas sungai yang menghasilkan
konglomerat.
II.2.2 Stratigrafi
Pegunungan Selatan bagian timur
Secara
umum stratigrafi Pegunungan Selatan bagian timur tersusun oleh 5 formasi
(Sartono, 1958), masing-masing dari tua ke muda adalah:
- Formasi
Besole
- Formasi
Jaten
- Formasi
Wuni
- Formasi
Nampol
- Formasi
Punung
1. Formasi Besole
Formasi Besole terdiri dari
batuan beku, yang berupavariasi dari tonalit, dasit, andesit dan tuf dasit.
Penyebarannya cukup luas dan hampir meliputi Pegunungan Selatan Jawa Timur
secara kieseluruhan. Formasi Besole dengan Formasi Andesit Tua di Kulonprogo
menunjukkan umur yang sama yaitu Oligosen. Sedangkan padananya untuk Pegunungan Selatan bagian barat
adalah Formasi Kebo-Butak. Formasi Besole ini terletak tidak selaras di bawah
Formasi Jaten.
- Formasi
Jaten
Formasi
ini mempunyai wilayah tipe di kali Jaten, Kabupaten Pacitan. Bagian bawah dari
formasi ini terdiri dari pasir kuarsa berbutir kasarm lapisan-lapisan tipis
lignit, petrified wood dan gravel. Bagian tengah terdiri dari batu lanau berselang-seling
dengan lempung hitam, lapisan lignit dan endapan gravel. Bagian atas tersusun
oleh lempung hitam mengandung gastropoda, pelecypoda, fragmen koral dan
bryozoa. Umur Formasi ini adalah Oligisen-Miosen. Ketebalan di Punung antara
25-150 meter, yang diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Besole. Secara
umur, Formasi ini sepadan dengan Formasi Semilir di Pegunungan Selatan bagian
barat.
- Formasi
Wuni
Wilayah
tipe formasi inbi ada di Sungai Wuni, anak Sungai Baksoka. Penyusunannya
terdiri dari breksi agglomerat berselingan dengan batupasir tufaan berbutir
kasar dan batulanau, terdapat batugamping terumbu koral pada bagian atas. Umur
berdasarkan fauna koral adalah Miosen Bawah. Menurut tim Lemigas Formasi Wuni
ini berumur N9-N12 (Miosen Tengah) didasarkan atas ditemukannya Globorotalia siakinesis. Globigerinoides tribolus dan Globorotalia praebuloides. Ketebalan
Formasi Wuni di daerah Punung berkisar 150-200 meter.Terletak selaras di atas
Formasi Jaten dan selaras pula di bawah Formasi nampol. Kesebandingan
umur Formasi Wuni ini adalah setara dengan Formasi Nglanggran.
- Formasi
Nampol
Formasi ini mempunyai wilayah
tipe di Sungai nampol, tersusun oleh agglomerat, konglomerat, batupasir,
batulanau, batulempung, tufa dan lignit. Terdapat fosil Elphidium craticulacum, Rotalia beccari dan Moluska yang secara
keseluruhan merupakan penciri laut yang sangat dangkal. Berumur Miosen bagian
atas. Di daerah Punung Formasi ini mempunyai ketebalan 58-60 meter. Terletak selaras
di atas Formasi Wunu. Formasi Nampol ini mempunyai umur sepadan dengan Formasi
Sambipitu.
- Formasi
Punung
Formasi yang secara umum
terdiri dari batugamping ini mempunyai wilayah tipe di daerah Kecamatan punung,
Kabupaten Pacitan. Sebagai suatu kesatuan, formasi ini menunjukkan 2 fasies,
yaitu fasies batugamping dan fasies klastik. Fasies batugampingnya meliputi
terumbu koral, batugamping nepalan, batugamping tufaan, batugamping berlapis
dan konglomerat batugamping. Fasies klastiknya terdiri atas batupasir tufaan.
Terdapat fosil koral, pelecypoda,
gastropoda, algae, foraminifera dan
echinoidea. Berumur Miosen Tengah bagian bawah. Di daerah Punung Formasi
ini mempunyai ketebalan antara 200-300 meter. Kedudukan stratigrafinya adalah tidak selaras dengan
formasi lain yang lebih tua. Formasi Punung ini sepadan dengan Formasi
Wonosari.
II.3 Struktur
Geologi Regional
Struktur daerah ini memiliki arah poros lipatan lebih
kurang timurlaut – baratdaya. Disamping perlipatan terdapat juga persesaran,
berdasarkan data geofisika terdapat sesar dengan arah timurlaut baratdaya
melalui tepi timur Terban–Bantul (Untung, dkk, 1977). Berdasarkan data di atas
juga data di lapangan dapat disimpulkan, bahwa lembar Yogyakarta terdapat dua
sistem sesar. Sistem patahan dengan arah kurang lebih tenggara baratlaut. Pada
awal Pleistocen, seluruh daerah terangkat lagi yang mengakibatkan pembentukan
morfologi daerah dataran tinggi, dan mengakibatkan terjadinya persesaran daerah
ini ( Raharjo, dkk, 1977).