For The Best Future

Rabu, 05 Desember 2012

core


Core
Abstrack
Pengambilan data geologi pada sekarang ini tidak hanya menggunakan data pada permukaan yang ada di lapangan saja, akan tetapi juga mulai menggunakan data subsurface (bawah permukaan) yang didapatkan dengan pemetaan bawah permukaan yang biasanya digunakan dengan data geofisika.
Setelah mendapatkan data geofisika, biasanya kita menganalisa dengan menggunakan suatu pemodelan terlebih dahulu. Hal ini digunakan untuk menentukan dibawah permukaan yang kita ambil apakah mengandungn senyawa hidrokarbon, batubara atau pun mengandung barang tambang mineral lainnya yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Untuk itu setelah didapatkan pemodelan yang pasti tentang kandungan hidrokarbon yang terdapat didalamnya, kita melakukan drilling, hal tersebut dilakukan dengan mengebor tanah hingga kedalaman yang dicurigai memiliki kandungan hidrokarbon yang tinggi. Dan selama drilling tersebut itu juga dilakukan proses yang biasa disebut sebagai coring.
                         Pengambilan data geologi mengenai data bawah permukaan sekarang ini tidak hanya di lakukan dengan pemetaan geologi diatas permukaan saja, akan tetapi mulai menggunakan pemetaan bawah permukaan, salah satunga dengan menggunakan data geofisika.
                   Data geofisika tersebut di dapat dengan menembakan suatu gelombang ke bawah permukaan bumi, dimana sudah disiapkan penangkap gelombang yang di pantulkan kembali keatas oleh suatu batuan. Setelah di tangkap, maka kita akan mendapatkan data-data mengenai perkiraan perlapisan dibawah permukaan bumi yang terbentuk pada daerah tersebut (daerah yang dilakukan survei geofifika).
                   Dari data tersebut dapat kita bawa ke laboratorium untuk dilakukan suatu analisa pemodelan yang selanjutnya akan menghasilkan interpretasi sementara mengenai kandungan yang ada di bawah permukaan. Tidak memungkiri, survei geofisika atau pengambilan data geofisika tersebut digunakan untuk mengetahui apakah ada cadangan hidrokarbon, batubara ataupun kandungan mineral yang mempunyai nilai ekonomis tinggi ataupun tidak pada suatu kedalaman tertentu.
                   Setelah dalam pemodelan di pastikan terdapat suatu hasil yang positif, maka perusahaan yang mengambil data geofisika tadi mulai mengeksplorasi yaitu dengan melakukan drilling. Drilling merupakan suatu proses pengeboran ke daerah yang dicurigai mengandung hidrokarbon ataupun barang tambang yang dicari tadi. Dalam suatu proses drilling tidak hanya melakukan pengeboran, tetapi biasanya juga melakuakn coring.
                   Coring, merupakan suatu proses yang digunakan selama melakukan drilling, untuk mendapatkan data perlapisan atau data stratigrafi yang terbentuk dalam skala kecil, karena gambaranya dalam bentuk pipa. Coring sendiri didapat pada borehole yang ujung bornya memang di desain sedemikian sehingga dapat menghasilkan coring tadi.
                   Hasil dari coring berupa core yang di gunakan sebagai gambaran dari stratigrafi secara mini batuan yang ada di daerah tersebut yang mempunyai cadangan hidrokarbon ataupun barang tambang yang lain. Dalam data core  dapat terlihat struktur sedimen, fosil ataupun kenampakan batuan dari tekstur hingga komposisinya yang kemudian di interpretasi kembali dan juga dicocokan dengan hasil survei geofisika tadi.
                   Dalam gambaran secara umum, core tadi apabila dilakukan di permukaan bumi, seperti data yang kita dapatkan sewaktu kita melakukan measuring section pada suatu perlapisan batuan sedimen. Perbedaannya adalah apabila MS dilakukan pada batuan sedimen yang tersingkap di permukaan, sedangkan coring, didapatkan dengan melakukan drilling terlebih dahulu, atau dengan kata lain, coring itu memaksa untuk menyingkap perlapisan batuan yang ada dibawah permukaan bumi demi mendapatkan data mengenai kandungan barang ekonomis (hidrokarbon, gas, dan barang tambang yang lain).
                   Fungsi korelasi stratigrafi keduanya (data permukaan dan bawah permukaan) sangat penting. Karena keduanya dapat mengetahui hierarki pembentukan perlapisan batuan yang terbentuk dan juga terdapat banyak data yang lain mengenai log batuan seperti struktur sedimen dan lain-lain yang dapat digunakan untuk mengintepretasi keadaan daerah tersebut. Dalam hal ini core biasanya sering digunakan untuk studi lebih lanjut mengenai studi analisa cekungan. Sedangkan untuk data log yang didapatkan dengan measuring section juga dapat digunakan untuk studi analisa cekungan, akan tetapi digunakan sebagai data awal dalam semua studi, karena data yang di dapat dari MS biasanya hanya untuk pemetaan permukaan saja.
Daftar Pustaka
Nichols, Garry.,2009. Sedimentarology and Stratigraphy Second Edition.Willey Blackwell. Oxford.

Litostraitgrafi dan Biostratigrafi


Litostratigrafi dan Biostratigrafi
Abstrack
Penentuan satuan waktu geologi sangatlah sulit, karena terbentuknya suatu batuan terjadi pada epoch ataupun periods yang terjadi sangat lama (Jutaan tahun yang lalu). Batuan sendiri mulai ada sejak bumi ini lahir atau sudah sekitar 4,5 milyar tahun. Untuk itu geologi membagi waktu skala geologi dalam unit geokronologi dan juga dalam kronostratigrafi. Unit geokronologi itu sendiri merupakan hubungan batuan dengan waktu geologi dimana ia terbentuk dan untuk kronos stratigrafi sendiri fokus pada unit stratigrafi.
Para ilmuwan geologi membuat suatu chart untuk memudahkan kita dalam menentukan waktu geologi yaitu dengan membuat suatu chart stratigrafi dan skala waktu geologi. Yang kesemuanya digunakan kita untuk mempermudah mempelajari urut-urutan dan waktu dalam sejarah bumi.
Walaupun ada stratigrafi chart dan skala waktu geologi yang ada dari bumi terbentuk hingga sekarang, namun dalam praktik dilapangan untuk menentukan hubungan strtigrafi pada suatu ataupun beberapa unit formasi masih sangatlah sulit, untuk itu stratigrafi sendiri dibagi menjadi beberapa macam, yaitu litostratigrafi, biostratigrafi, chronostratigraphy dan magnetostratigraphy serta allostratigraphy.
Lithostratigraphy, dapat dilihat dari karakteristik litologi dan posisi relatif stratigrafi suatu batuan dengan batuan yang lain, biasanya litostratigrafi ini terkenal dengan hubungan perlapisan pada batuan sedimen. Posisi relatif stratigrafi dapat ditentukan dengan mengetahui geometri dan hubungan stratigrafinya, seperti superposisi, cross-cutting relationships, unconformity dan fragmen yang ikut dalam suatu batuan sedimen, terbentuknya patahan ataupun lipatan. Hubungan dalam stratigrafi ini dapat untuk menentukan mana lapisan atau layer yang lebih muda dan yang lebih tua.
Dalam unit litostratigrafi terdapat suatu hierarki yang tersusun dari kelompok kecil hingga kelompok besar penyusun litostratigrafi itu sendiri. Anggota dari litostratigrafi ini layaknya seperti taksonomi pada hewan ataupun tumbuhan, urut-urutannya dari yang kecil hingga ke yang besar yaitu bed (perlapisan), member, formasi, group dan supergroup.  Cara pengelompokannya pun hampir sama dengan suatu taksonomi spesies hewan. Misal ada suatu perlapisan batupasir (bed) yang termasuk dalam unit satuan batupasir berlapis (member), unit batupasir berlapis (member) tersebut termasuk dalam anggota formasi A (formasi) pada suatu daerah X, dimana di daerah X tersebut mempunyai 3 formasi penyusun (group). Namun, dalam litostratigrafi yang umum digunakan adalah formasi, karena lebih umum dan juga mempunyai kisaran umur pembentukan pada suatu waktu tertentu disuatu lingkungan tertentu.
Untuk mendeskripsikan suatu tatanan litostratigrafi dibutuhkan beberapa data yang bersesuaian untuk mengelompokannya kedalam suatu formasi, yaitu litologi dan karakteristiknya, type section, ketebalan dan pemanjangan suatu lapisan batuannya dan informasi lain seperti radiometric datting, kandungan fosil serta hubungan antara batuan yang satu dengan yang lain.
Litostratigrafi dapat di aplikasikan kedalam beberapa hal, misalkan dalam pemetaan geologi. Pada peta geologi skala 1:100.000 dan 1:50.000 biasanya memetakan persebaran dari formasi-formasi yang menyusun suatu daerah.
Hubungan antara litostratigrafi dan lingkungan pengendapan dapat dilihat dengan pengendapan yang terjadi pada saat ini. Misalkan pengendapan fluvial yang terjadi pada sepanjang sungai juga bisa menjadi acuan pengendapan di masa lampau (the present is the key to the past, but also to the future, (Soetoto,2012)). Pada suatu waktu kala pengendpan bisa terjadi perubahan lingkungan pengendapan, misal pengendapan yang terjadi di daerah pinggir pantai pada kisaran waktu geologi yang sama karena adanya penurunan muka air laut, akan terjadi perubahan lingkungan menjadi daerah laguna, dan apabila yang terjadi kenaikan muka air laut, maka bentuk endapan yang terbentuk adalah endapan pada daerah laut. Selain itu juga ada hubungan antara daerah pengendapan dan juga endapan yang di hasilkan.
Biostratigraphy, dapat digunakan atau biasanya digunakan pada badan batuan yang mempunyai fosil. Fosil yang di gunakan biasanya dilihat dari kelimpahan serta umur relatif dimana dahulu fosil tersebut hidup. Cara untuk mengetahui umur relatif dari suatu fosil pada perlapisan batuan yaitu dengan cara mengklasifikasikan fosil tersebut kedalam suatu tatanan taksonomi seperti tatanan taksonomi yang ada sekarang. Setelah mengetahui suatu tatanan taksonomi yang ada hingga menemukan beberapa spesies kita dapat melihat suatu chart dimana setiap satuan waktu mempunyai fosil penciri itu sendiri.
                   Untuk menentukan diamana awal suatu masa di cirikan oleh suatu spesies fosil, maka kita harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah memperhatikan kapan fosil tersebut mulai muncul di suatu perlapisan atau beberapa perlapisan (First Appearance), hingga mencapai dimana fosil tersebut terakhir tampak dalam suatu perlapisan (last Appearance).
Hal yang terpenting dari suatu biostratigrafi adalah biozonasi. Biozonasi sering didefinisikan sebagai kandungan fosil yang terdapat dalam suatu batuan yang biasanya sering dikaitkan dengan lingkungan pengendapan.
Ada beberapa biozonasi fosil yang dapat dilakukan yaitu interval biozone dicirikan dengan FA dan LA suatu taxa dari spesies tertentu. Concurrent range biozone, yang didasarkan pada dua taxa yang saling overlapping, dimana pada bagian atas ada kenampakan taxa yang pertama dan menghilangnya taxa yang berikutnya. Yang ketiga adalah partial range biozone, hampir sama dengan concurrent range biozone, hanya saja tidak ada overlapping pada kedua taxa tersebut.
Assamblage biozone, digunakan apabila tidak ada fosil yang hidup pada suatu kisaran waktu yang singkat. Acme biozone terdapat dua taxa yang selisih waktunya berbeda dan yang digunakan untuk menentukan adalah, proporsi jumlah fosil yang terbanyak yang terdpat di dalamnya.
Kaitannya dengan lingkungan pengendapan, dalam biostratigrafi yang digunakan adalah yang berkaitan dengan fosil yang ditemukan, yaitu mulai dari jenis fosil yang ada (plangtonik, nektonik maupun bentonik), morfologi fosil, serta ukuran fosilnya. Oleh karena itu ilmu paleontologi sangat berperan dalam biostratigrafi ini. Dalam suatu lingkungan pengendapan tertentu, memiliki ciri khas fosil tertentu. Misalkan, pengendapan di daerah laut dalam di cirikan oleh fosil Radiolaria, hal tersebut di mungkinkan terjadi karena organisme jenis Radiolaria tersebut relevan untuk hidup di lingkungan laut dalam dan juga pasti jika mati akan terendapkan didaerah itu juga.

Daftar Pustaka
Nichols, Garry.,2009. Sedimentarology and Stratigraphy Second Edition.Willey Blackwell. Oxford.

Selasa, 04 Desember 2012

Petroleum

comming soon :)

Struktur Batuan Metamorf


STRUKTUR BATUAN METAMORF
Struktur Foliasi
            Terjadi karena adanya penjajaran mineral menjadi  lapisan-lapisan (gneissosity), orientasi butiran  (schistosity), permukaan belahan planar (cleavage) atau  kombinasi dari ketiga hal tersebut (Jackson, 1970).
a.       Slaty cleavage, batuannya disebut slate (batusabak)
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0005.jpg
b.      Phylitic, batuannya disebut phylite (filit)
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0006.jpg
c.       Schistosic, batuannya disebut schist (sekis)
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0008.jpg
d.      Gneissic/Gneissose, batuannya disebut gneiss
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0009.jpg

Struktur Non Foliasi
Terbentuk oleh mineral-mineral equidimensional  dan umumnya terdiri dari butiran-butiran (granular).
a.       Hornfelsic/Granulose, batuannya disebut hornfels  (batutanduk)
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0010.jpg
b.      Cataclastic, batuannya disebut cataclasite  (kataklasit)
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0001.jpg
c.       Mylonitic, batuannya disebut mylonite (milonit)
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0002.jpg
d.      Phyllonitic, batuannya phyllonite (filonit)
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0003.jpg


TEKSTUR BATUAN METAMORF
            Tekstur merupakan  kenampakan batuan yang berdasarkan pada ukuran, bentuk dan orientasi butir  mineral individual penyusun batuan metamorf (Jackson, 1970).

TEKSTUR BERDASARKAN KETAHANAN  TERHADAP PROSES METAMORFOSA
  1. Relict/Palimpset/Sisa; masih menunjukkan sisa tekstur batuan asalnya.  Awalan blasto digunakan untuk penamaan tekstur batuan metamorf ini.  Batuan yang mempunyai kondisi seperti ini sering disebut batuan metabeku atau metasedimen.
  2. Kristaloblastik; terbentuk oleh sebab proses metamorfosa itu sendiri.  Batuan dengan tekstur ini sudah mengalami rekristalisasi sehingga tekstur asalnya tidak tampak.  Penamaannya menggunakan akhiran blastik.

TEKSTUR BERDASARKAN BENTUK MINERAL
  1. Lepidoblastik, bila mineral penyusunnya berbentuk tabular.
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0011.jpg
  1. Nematoblastik, bila mineral penyusunnya berbentuk prismatik.
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0012.jpg
  1. Granoblastik, bila mineral penyusunnya berbentuk granular, equidimensional, batas mineralnya sutured (tidak teratur) dan umumnya berbentuk anhedral.
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0013.jpg
4.      Granuloblastik, bila mineral penyusunnya berbentuk granular, equidimensional, batas mineralnya unsutured (lebih teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.
5.      Porfirobalstik, seperti tekstur pada batuan beku dimana terdapat butiran Kristal yang cukup kasar pada massa dasar yang relative lebih halus.
Description: F:\hasil scan\2009_05_14\IMG_0014.jpg

TEKSTUR BERDASARKAN UKURAN BUTIR
1.      Fanerit, bila butiran kristal masih dapat dilihat dengan mata.
2.      Afanit, bila butiran kristal tidak dapat dilihat dengan mata

TEKSTUR BERDASARKAN BENTUK  INDIVIDU KRISTAL
1.      Euhedral, bila kristal dibatasi oleh bidang permukaan kristal itu sendiri.
2.      Subhedral, bila kristal dibatasi sebagian oleh bidang permukaannya sendiri dan sebagian oleh bidang permukaan kristal di sekitarnya.
3.      Anhedral, bila kristal dibatasi seluruhnya oleh bidang permukaan kristal lain di sekitarnya.
4.      Idioblastik, bila mineralnya didominasi oleh kristal berbentuk euhedral.
5.      Hypidioblastik, bila mineralnya didominasi oleh kristal berbentuk subhedral
6.      Xenoblastik, bila mineralnya didominasi oleh kristal berbentuk anhedral.

TEKSTUR KHUSUS YANG UMUMNYA AKAN TAMPAK PADA PENGAMATAN PETROGRAFI :
1.      Porfiroblastik, bila terdapat beberapa mineral yang ukurannya lebih besar dari mineral lainnya.  Kristal yang lebih besar tersebut sering disebut sebagai porphyroblasts.
2.      Poikiloblastik/sieve texture; tekstur porfiroblastik dengan porphyroblasts tampak melingkupi beberapa kristal yang lebih kecil.
3.      Mortar texture, bila fragmen mineral yang lebih besar terdapat pada massa dasar material yang berasal dari kristal yang sama yang terkena pemecahan (crushing).
4.       Decussate texture; tekstur kristaloblastik batuan polimineralik yang tidak menunjukkan keteraturan orientasi.
5.      Sacaroidal texture; tekstur yang kenampakannya seperti gula pasir.
6.      Batuan metamorf yang hanya mempunyai satu tekstur saja sering disebut bertekstur homeoblastik, sedangkan batuan yang mempunyai lebih dari satu tekstur disebut bertekstur heteroblastik.
















Daftar Pustaka

·         Raymond, Lorren, 2007, Petrology 2nd Edition, Waveland Press, New York.
·         Soetoto, 2001, Geologi, Laboratorium Geologi Dinamik Jurusan Teknik Geologi, Yogyakarta.
·         Staf Asisten Mineralogi/Petrologi, 1995, Diktat Praktikum Petrologi, Labooratorium Bahan Galian Jurusan Teknik Geologi, Yogyakarta.

Bathymetri


Kehidupan di lingkungan laut sangat bervariasi. Tumbuhan dan hewan hadir dalam berbagai ukuran, bentuk, warna, dan cara hidup. Berbagai kelompok hewan dan tumbuhan tampak hadir dalam jumlah yang berbeda-beda, baik dalam hal jumlah jenis atau spesiesnya, jumlah individu, maupun luas areal penyebarannya.
Berdasarkan pada dua komponen utamanya, yaitu bumi sebagai wadah dan massa air sebagai sesuatu yang diwadahi, lingkungan laut dapat dibedakan menjadi dua lingkungan utama, yaitu: (1) lingkungan bentik (benthic), yang mengacu kepada dasar samudera atau dasar laut, dan (2) lingkungan pelagis (pelagic), yang mengacu kepada massa air laut. Kedua kelompok utama lingkungan laut itu meliputi dasar laut dan perairan dengan kisaran kedalaman yang sangat besar, mulai dari nol meter di tepi laut sampai kedalaman ribuan meter di daerah palung. Oleh karena itu, kedua lingkungan itu dibedakan lagi menjadi beberapa zona lingkungan berdasarkan beberapa parameter lingkungan laut.

 














Zonasi lingkungan laut. Dikutip dari Webber dan Thorman (1991)

            Berdasarkan pada posisinya terhadap konfigurasi benua dan samudera, lingkungan pelagis dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) lingkungan neritik (neritic)atau sistem neritik, yaitu yang mengacu kepada air laut dangkal yang menutupi paparan benua; kedalamannya mencapai 200 meter
(2) lingkungan oseanik (oceanic) atau sistem oseanik, yaitu yang mengacu kepada air laut dalam yang menutupi lereng benua sampai cekungan samudera; kedalamannya lebih dari 200 meter.
            Lingkungan oseanik dibedakan menjadi lima zona lingkungan, yaitu:
·         Epipelagik merupakan daerah antara permukaan dengan kedalaman air sekitar 200 m.
·         Mesopelagik merupakan daerah dibawah epipelagik dengan kedalaman 200 1000 m. Hewannya misalnya ikan hiu.
·         Batiopelagik merupakan daerah lereng benua dengan kedalaman 200-2.500 m. Hewan yang hidup di daerah ini misalnya gurita.
·         Abisal pelagik merupakan daerah dengan kedalaman mencapai 4.000m; tidak terdapat tumbuhan tetapi hewan masih ada. Sinar matahari tidak mampu menembus daerah ini.
·         Hadal pelagik merupakan bagian laut terdalam (dasar). Kedalaman
lebih dari 6.000 m. Di bagian ini biasanya terdapat lele laut dan ikan Taut yang dapat mengeluarkan cahaya. Sebagai produsen di tempat ini adalah bakteri yang bersimbiosis dengan karang tertentu.
Menurut kedalamannya, ekosistem air laut dibagi sebagai berikut:
  1. Daerah ini merupakan daerah dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal. Air yang hangat berdekatan dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air yang berakar dan daunnya ada yang mencuat ke atas permukaan air. Komunitas organisme sangat beragam termasuk jenis-jenis ganggang yang melekat (khususnya diatom), berbagai siput dan remis, serangga, krustacea, ikan, amfibi, reptilia air dan semi air seperti kura-kura dan ular, itik dan angsa, dan beberapa mamalia yang sering mencari makan di danau.
2. Zona neritik, merupakan wilayah laut yang berada di antara garis pantai kedalaman 200m. Pada zona ini sinar matahari masih dapat menembus ke dalam. Ikan dan sejenisnya serta tumbuhan laut banyak dijumpai pada zona ini.
3. Zona batial, merupakan wilayah laut yang berada pada kedalaman 200–2.500 m. Pada zona ini sinar matahari sudah tidak mampu menembus ke dalam sehingga organisme laut tidak sebanyak pada zona neritik. Zona batial biasanya merupakan lereng benua (continental slope) yang curam dan berbatasan dengan landas benua (continental shelf).
4. Zona abisal, merupakan wilayah laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 2.500 m. Suhu pada wilayah ini sangat dingin. Hewan laut yang dapat hidup hanya terbatas dan tumbuhan laut sudah tidak ada.






















DAFTAR PUSTAKA

Ingmanson, D. E. and Wallace, W. J., 1985. Oceanography: an introduction, 3rd ed., Wadsworth Publishing Company, Belmont, California, 530 p.
McConnaughey, B. H., 1974. Introduction to Marine Biology, 2nd ed., The C.V. Mosby Company, Saint Louis, 544 p.