For The Best Future

Kamis, 24 Januari 2013

Pengamatan Dengen Menggunakan Nikol Sejajar


Pengamatan Dengen Menggunakan Nikol Sejajar
Hal-hal yang perlu dideskripsi untuk mengidentifikasi mineral pada pengamatan nikol sejajar antara lain, ketembusan cahaya,ukuran mineral, bentuk, belahan pecahan, relief, warna, pleokroisme, inklusi, indeks bias, serta sketsa mineral yang diteliti. Dengan mengidentifikasi hal-hal tersebut, kita akan dapat mengetahui nama mineral.
1.    Ketembusan Cahaya
Berdasarkan atas sifat-sifat mineral terhadap cahaya, mineral-mineral dibagi menjadi dua golongan yaitu, mineral tembus cahaya (transparent) dan mineral yang tidak tembus cahaya yang sering disebut mineral opak atau mineral kedap cahaya. Dibawah mikroskop polarisasi, mineral opak akan nampak sebagai butir yang hitam/ gelap walaupun diamati dengan cahaya maksimal sehingga harus dipelajari lebih lanjut menggunakan mikroskop pantulan. Mineral tranparent dibagi menjadi dua yaitu mineral isotropik dan mineral anisotropik. Mineral isotropik adalah mineral yang tidak mengalami perubahan sifat saat meja objek diputar, sedangkan mineral anisotropik akan mengalami perubahan sifat optik tergantung pada sinar dan komponennya serta jenis sayatannya.
2.    Ukuran Mineral
Ukuran mineral diukur dengan melihat perbandingan ukuran pada benang silang. Pada benang silang umumnya terdapat ukuran panjang dalam bentuk milimeter.
3.    Bentuk
Pengamatan bentuk dilakukan dengan melihat bidang batas mineral. Bentuk masing-masing butir mineral dikontrol oleh dua hal yaitu, struktur atom dan proses terjadinya. Bentuk kristal dibagi menjadi tiga, pertama euhedral yaitu kristal yang dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri, kedua subhedral yaitu kristal yang dibatasi oleh sebagian bidang kristalnya sendiri, dan ketiga anhedral yaitu kristal yang sama sekali tidak dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri melainkan dibatasi bidang kristal lain.

4.    Belahan
Belahan adalah sifat atau kecenderungan dari suatu kristal untuk terbelah sejajar dengan salah satu atau lebih arah di dalam kristal. Pembelahan pada kristal akan menghasilkan kristal-kristal yang lebih kecil dan masing-masing kristal dibatasi oleh bidang yang halus dan rata. Belahan adalah sifat mineral yang khas sehingga merupakan salah satu cara untuk membedakan mineral satu dengan mineral lain. Ada beberapa jenis belahan menurut jumlah arahnya antara lain belahan satu arah, dua arah, tiga arah, empat arah, lima arah, dan enam arah. Berdasarkan pada jarak antara bidang belahan yang berdampingan dan sifat belahan yang menerus atau tidak maka dibedakan menjadi tiga yaitu, belahan sempurna (perfect cleavage), belahan baik (good cleavage), dan belahan jelek (poor cleavage).
5.    Pecahan
Pecahan adalah kecenderungan dari suatu mineral untuk pecah dengan cara tertentu yang tidak dikontrol secara kuat oleh struktur atom. Pada pengamatan mineral kali ini, cukup untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya pecahan pada peraga mineral.
6.    Relief
Relief adalah ungkapan nyata dari kejadian bahwa cahaya yang keluar dari suatu media kemudian masuk ke dalam media lain yang mempunyai harga indeks bias yang berbeda akan mengalami pembiasan/ pemantulan pada betas sentuhan antara kedua media tersebut. Untuk mempermudah pengamatan relief dibawah mikroskop maka bahan atau kristal dilekatkan pada keping kaca dengan menggunakan balsam kanada karena balsam kanada dikatakan memiliki relief nol (tepatnya n= 1,537).
7.    Warna
Warna diakibatkan oleh penyerapan cahaya yang melintasi kristal tersebut. Warna mineral yang diamati pada contoh setangan (hand specimen) umumnya akan berbeda dengan warna mineral sayatan tipis yang diamati dibawah mikroskop. Cahaya yang melewati mineral akan memiliki dampak yang berbeda diantaranya, pertama jika semua cahaya diserap semua maka mineral akan terlihat gelap/ hitam, kedua jika hanya sebagian cahaya yang diserap maka mineral akan terlihat tak berwarna, dan ketiga jika hanya sebagian cahaya yang diserap tetapi dengan cara memilih cahaya dengan panjang gelombang tertentu maka akan terlihat mineral yang berwarna.
8.    Pleokroisme
Mineral yang dapat menampakan lebih dari satu warna pada saat pengamatan menggunakan mikroskop polarisator disebut pleokroik. Pleokroisme terjadi jika meja objek diputar maka akan terlihat perbedaan warna pada mineral tertentu tergantung rotasinya. Pada saat pemutaran meja objek, mineral akan menyerap panjang gelombang yang berbeda.
9.    Inklusi
Inklusi adalah material berupa kotoran yang masuk saat proses kristalisasi pada kristal. Material asing ini akan terperangkap di dalam kristal dan seterusnya menjadi bagian dari kristal tersebut. Inklusi dapat dibedakan pada saat pengamatan karena biasanya memiliki warna yang berbeda dibanding kristal yang mengelilinginya.
10.    Indeks Bias
Pengukuran indeks bias dapat dilakukan secara relatif dengan memperhatikan reliefnya. Pada indeks bias mineral < indeks bias balsam, saat tubus mikroskop diturunkan maka mineral peraga akan terlihat seolah-olah membesar. Sebaliknya pada indeks bias mineral > indeks bias balsam, saat tubus mikroskop diturunkan maka mineral akan terlihat seolah-olah mengecil.



Pengamatan Nikol Sejajar

Mineral: Tourmaline
Deskripsi mineral
Ø  Ketembusan cahaya    : Transparan
Ø  Ukuran mineral           : 2,7 mm (bidang pandang)
Ø  Bentuk                                    : Euhedral
Ø  Belahan                       : Tidak ada
Ø  Pecahan                       : Ada (conchoidal)
Ø  Relief                          : Sedang - tinggi
Ø  Warna                          : Kuning
Ø  Pleokroisme                 : Ada (tinggi)
Ø  Inklusi                         : Ada
Ø  Indeks bias                  : nmineral < nbalsam
Ø  Nama Mineral             : Tourmaline
Ø  Sketsa pengamatan     :

Perbedaan Nikol Sejajar dan Nikol Bersilang


Perbedaan Nikol Sejajar dan Nikol Bersilang
Perbedaan antara nikol sejajar dengan nikol bersilang, apabila dalam praktikum menggunakan mikroskop pada pengamatan nikol sejajar, kita tidak perlu menggunakan analisator.
Aalisator tersebut di keluarkan dari jalan cahaya yang masuk menuju lensa okuler pada tubus, atau bila letaknya pada mikroskop yang  terbaru, keping analisator di putar ke arah sejajar dengan arah polarisator). Nikol bersilang sendiri merupakan pengamatan dengan menggunakan analisator, dimana keping analisator, apabila pada  mikroskop olympus analisator tersebut di masukan kedalam jalan cahaya menuju lensa okuler pada tubus dan pada mikroskop yang baru keping analisator tersebut di putar tegak lurus dengan arah polarisator.
Selain itu bahwa pada nikol sejajar pengamatan dilakukan dengan menggunakan cahaya yang paling terang ( bisa digunakan untuk pengamatan) apabila pada nikol bersilang pengamatan dilakukan dengan cara mencari keadaan paling gelap, agar memperoleh beberapa unsur sifat optik yang hanya bisa diamati pada mikroskop nikol bersilang.
Perbedaan tidak hanya dilihat pada bagian itu saja, pengamatan yang dilakukan dengan kedua cara tersebut juga menghasilkan pengamatan yang berbeda. Pada nikol sejarjar pengamatan tersebut di bagi menjadi dua golongan, yaitu sifat-sifat sumbu optik yang memiliki hubungan tertentu dengan sumbu kristalografi, dan sifat optik yang mempunyai hubungan dengan sumbu sinar kristal.
1.      Sumbu Optik Yang Mempunyai Hubungan Dengan Sumbu Kristalografi
Bagian yang sejajar atau membentuk sudut tertentu, : Bentuk, belahan, pecahan dan juga retakan. Sifat-sifat tersebut bisa dilihat pada mikroskop dan juga bisa di amati menggunakan sampel setangan.
2.      Sifat Optik Yang Mempunyai Hubungan Dengan Sumbu Sinar Kristal
Yang di maksud dari sifat optik yang mempunyai hubungan dengan sumbu sinar kristal adalah sifat-sifat optis seperti indeks bias, relief, warna dan pleokroisme. Sifat tersebut dapat tampak pada posisi objek tertentu komponen pada sinar tersebut bergerak searah dengan polarisator.
Sedangkan pada mikroskop polarisator komponen paling penting yang diamati adalah warna interferensi dan gelapan. Akan tetapi beberapa sifat optik lain yang mengikuti dan bisa diamati seperti gelapan gelombang (weavy wave), warna interferensi abnormal, dwibias, gelapan bintik-bintik. Karena kedudukan gelapan pada suatu kristal tadi menunjukan sumbu-sumbu sinar, dalam mikroskop yang menggunakan nikol bersilang, kita dapat mempelajari sumbu kristal karena kedudukan gelapan tadi, dan unsur yang dapat diamati untuk mempelajari sumbu kristalografik tersebut adalah tanda rentang/ orientasi optik, dan besaran sudut gelapan.
Kenampakan-kenampakan sifat optik lain yang tampak pada nikol bersilang adalah kembaran, lembar pemisah, zonasi, pertit, antipertit. Semua sifat optik diatas hanya dapat diamati pada posisi nikol bersilang.
Komponen-komponen dari nikol bersilang tersebut akan dijelaskan brikut ini :
1.      Warna Interferensi
Warna pembiasan atau interferensi ini terjadi ketika ada dua jenis zat yang berbeda indeks biasnya yang berbeda dan juga karena pengaruh dari analisator tadi dan terlihat saat pengamatan dengan menggunakan mikroskop nikol bersilang.
Untuk cahaya dengan panjang gelombang tertentu perubahan intensitas cahaya yang tergantung pada harga retradasi ( Retradasi = t (n1-n2)
Retradasi inanometer tersebut merupakan pembedaan warna interferensi yang diamati ketika sedang melakukan pengamatan ketika praktikum. Hal disini untuk mempermudah dalam menentukan sifat optis yang lain.
2.      Gelapan
Yang di maksud dengan gelapan adalah kedudukan dimana sinar cahaya bergetar dengan arah getarannya, satu pada bidang analisator sedangkan yang satu di dalam bidang polarisator. Dan gelapan tersebut merupakan representasi dari letak suatu sumbu kristal berada.
3.      Sudut Gelapan
Merupakan sudut yang di bentuk ketika posisi pengamatan pada mikroskop nikol bersilang pada posisi terang sempurna dan posisi gelap sempurna dengan memutar meja objek dan ketika memutar meja objek tersebut kita harus benar-benar memperhatikan perubahan kedudukannya. Karena sudut gelapan diukur dari selisih di kedua posisi tersebut.
4.      Kembaran
Kembaran terjadi ketika kita sedang mencari sudut gelapan muncul pada satu tubuh kristal suatu yang berulang, yaitu gelap-terang pada satu tubuh kristal. Biasanya muncul pada plagioklas.. Kembaran
5.      Tanda Rentang Optis
Tanda rentang Optis menunjukan hubungan secara umum antara arah memanjangnya kristal, baik terhadap arah getaran sinar lambat ataupun sinar cepat.
TRO ini didapat setelah kita melakukan pengamatan nikol bersilang dan pada tubus mikroskop di masukan keping Gibbs, apabila stelah diamati menunjukan adanya peningkatan orde warna maka yang merambat merupakan sinar lambat (adisi), begitu pula sebaliknya (sinar cepat (subtraksi)).
6.      Tanda Elongasi
Tanda ini didapat setelah kita mengetahui TRO dan sinar apa yang merambat. Tanda elongasi positif didapat ketika apabila arah getaran sinar yang lambat sejajar atau menyudut lancip dengan arah memanjangnya kristal. Sedangkan tanda elongasi negatif didapat ketika sinar cepat yang sejajar atau menyudut lancip dengan arah memanjangnya kristal.
7.      Dwibias
Dwibias didapat apabila kita sudah mengetahui warna interferensi yang tepat pada retradasi inanometer ditarik sesuai garis menuju atas warna.
Dwibias menunjukan bahwa warna tersebut juga dapat di biaskan pada panjang gelombang yang sama.



DAFTAR PUSTAKA
Judith M, Bean, dkk.1981. Diktat Kuliah Mineral Optik. Yogyakarta : Pusat Penerbitan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Kerr F., Paul. 1959. Optical Mineralogy “Fourth Edition”. New York : Mc Graw Hill Book Company
Selverstone, Jane.2003.Optical Mineralogy in a Nutshell. University of New Mexico, Mexico : Unpublihsed

Geologi Regional Pegunungan Selatan


GEOLOGI REGIONAL
Yang dimaksud dengan Pegunungan Selatan adalah pegunungan yang terletak pada bagian selatan Jawa Tengah, mulai dari bagian tenggara dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memanjang ke arah timur sepanjang pantai selatan Jawa Timur.
      Secara morfologis daerah Pegunungan Selatan merupakan pegunungan yang dapat dibedakan menjadi 3 satuan morfologi utama, yaitu:
  1. Satuan morfologi perbukitan berrelief sedang sampai kuat, yaitu daerah yang ditempati oleh batupasir dan breksi vulkanik dan batuan beku dari Formasi Semilir, Nglanggran atau Wuni dan Besole. Daerah ini terdapat mulai dari daerah sekitar Imogiri di bagian barat, memanjang ke utara hingga Prambanan, membelok ke timur (Pegunungan Baturagung) dan terus ke arah timur melewati Perbukitan Panggung, Plopoh, Kambengan hingga di kawasan yang terpotong oleh jalan raya antara Pacitan-Slahung.
  2. Satuan dataran tinggi terdapat di daerah Gading, Wonosari, Playen hingga Semanu. Daerah ini rata-rata berketinggian 400 m di atas muka laut, dengan topografi yang hampir rata dan pada umumnya ditempati oleh batugamping.
  3. Satuan perbukitan kerucut, meliputi daerah dari sebelah timur Parangtritis memanjang ke timur melewati daerah Baron, Sadang terus ke timur melewati Punung hingga ke daearh sekitar Pacitan. Daerah ini tersusun oleh bukit-bukit kecil maupun berbentuk kerucut, tersusun oleh batugamping klastik maupun jenis batugamping yang lain.
Diantara ketiga satuan morfologi tersebut diatas di sebelah selatan terdapat suatu dataran rendah luas, mulai Wonogiri di utara hingga Giritrontro-Pracimantoro di selatan. Dataran lini dikelilingi oleh unsur-unsur geologis Pegunungan Selatan, sedangkan bagian bawah dialasi oleh batugamping Formasi Kepek yang tertutup oleh endapan Kuarter. Dataran rendah ini disebut sebagai Depresi Wonogiri-Baturetno, yang saat ini sebagian besar merupakan daerah genangan Waduk Gajahmungkur.

II.2  Stratigrafi Regional
      Dari penyimpulan hasil peneliti terdahulu, secara garis besar stratigrafi daerah Pegunungan dapat dinyatakan dalam dua macam urutan. Yang pertama adalah stratigrafi bagian barat, yang pada dasarnya bersumber kepada hasil penelitian Bothe (1929). Sedangkan bagian timur, yang terletak di sebelah selatan dan tenggara depresi Wonogiri-Baturetno urutan stratigrafinya disusun oleh Sartono (1958).
II.2.1    Stratigrafi Pegunungan Selatan bagian barat
      Pegunungan Selatan bagian barat secara umum tersusun oleh batuan sedimen volkaniklastik dan batuan karbonat. Batuan volkaniklastiknya sebagian besar terbentuk oleh pengendapan gayaberat (gravity depositional processes) yang menghasilkan endapan kurang lebih setebal 4000 meter. Hampir seluruh batuan sedimen tersebut mempunyai kemiringan ke selatan. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat dari tua ke muda adalah :
  1. Formasi Kebo-Butak
  2. Formasi Semilir
  3. Formasi Nglanggran
  4. Formasi Sambipitu
  5. Formasi Oyo-Wonosari
  6. Endapan Kuarter

            1.         Formasi Kebo-Butak
      Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulempung yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah, yang oleh Bothe disebut sebagai Kebo beds tersusun atas perselang selingan antara batupasir, batulanau dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit, dengan perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung. Bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan beku.
      Bagian atas dari Formasi ini, yang disebut sebagai Anggota Butak, tersusun oleh perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau, ketebalan total dari Formasi iin kurang lebih 800 m. Urutan batuan yang membentuk Formasi Kebo-Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower submarine fan dengan beberapa interupsi pengendapan tipe mid fan (Rahardjo, 1983), yang terbentuk pada akhir Oligosen (N2-N3) (Sumarso & Ismoyowati, 1975; van Gorsel et al., 1987).
            2.         Formasi Semilir
      Secara umum Formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang bersifat tufan, ringan, kadang-kadang dijumpai selaan breksi vulkanik. Fragmen yang membentuk breksi maupun batupasir pada umumnya berupa fragmen batuapung yang bersifat asam. Di lapangan pada umumnya menunjukkan perlapisan yang baik, struktur-struktur yang mencirikan turbidit banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil pada formasi ini menunjukkan bahwa pengendapanyya berlangsung secara cepat atau pengendapan tersebut terjadi pada lingkungan yang sangat dalam, berada di bawah ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami korosi sebelum dapat mencapai dasar pengendapan. Umur dari Formasi ini diduga adalah awal dari Miosen (N4) berdasar atas terdapatnya Globigerinoides primordius pada bagian yang bersifat lempungan dari formasi ini di dekat Piyungan (van Gorsel, 1987). Formasi Semilir ini menumpang secara selaras di atas Anggota Butak dari Formasi Kebo-Butak. Tersingkap secara baik di wilayah tipenya yaitu di tebing gawir baturagung di bawah puncak Semilir.

            3.         Formasi Nglanggran
      Berbeda dengan formasi yang sebelumnya, formasi Nglanggran ini tercirikan oleh penyusun utama berupa breksi dengan penyusun material vulkanik, tidak menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar. Bagian yang terkasar dari breksinya hampir seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah lava andesit dan juga bom andesit. Diantara masa breksi tersebut ditemukan sisipan lava yang sebagian besar telah mengalami breksiasi.
      Formasi ini ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang berasal dari gunung api bawah laut, dalam lingkungan laut dan proses pengendapan berjalan cepat, yaitu hanya selama awal Miosen (N4).
      Singkapan utama dari Formasi ini ada di gunung Nglanggranpada perbukitan Baturagung. Kontaknya dengan Formasi Semilir di bawahnya berupa kontak tajam. Hal ini berakibat bahwa formasi Nglanggran sering dianggap tidak selaras di atas Semilir, namun harus diperhatikan bahwa kontak tajam tersebut dapat terjadi akibat berubahnya mekanisme pengendapan akibat gayaberat. Van Gorsel (1987) menganggap bahwa pengandapan Nglanggran ini dapat diibaratkan sebagai proses runtunhnya gunungapi semacam Krakatau yang berada di lingkungan laut.
      Ke arah atas yaitu ke arah Formasi Sambipitu, Formasi Nglanggran berubah secara bergradasi, seperti yang terlihat di singkapan di Sungai Putat. Lokasi yang diamati untuk EGR tahun 2002 berada pada sisi lain sungai Putat, dimana kontak kedua formasi ini ditunjukkan oleh kontak struktural.

            4.         Formasi Sambipitu
      Di atas Formasi Nglanggran terdapat formasi batuan yang menunjukkan ciri-ciri terbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun terutama oleh batupasir yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah, batupasirnyamasih menunjukkan sifat vulkanik sedang ke atas sifat vulkanik ini berubah menjadi batupair yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral dan forminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret masuk ke dalam lingkungan yang lebih dalam akibat pengaruh arus turbid.
      Ke arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi Wonosari (Anggota Oyo) seperti yang terlihat pada singkapan pada sungai Widoro di dekat Bunder. Formasi Sambipitu terbentuk selama jaman Miosen, yaitu antara N4-N8 (Kadar, 1986) atau NN2-NN5 (Kadar, 1990).



            5.         Formasi Oyo-Wonosari
      Selaras di atas formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo-Wonosari. Formasi ini terdiri terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hampir setengah bagian selatan dari Pegunungan Selatan memanjang ke arah timur, membelok ke arah utara di sebelah timur perbukitan Panggung hingga mencapai bagian barat dari daearh depresi Wonogiri-Baturetno.
      Bagian terbawah dari Formasi Oyo-Wonosari terutama terdiri dari batugamping berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang diendapkan pada kondisi laut yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan pada daerah dekat muara sungai batugamping berlapis, menunjukkan gradasi butir dan pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil jejak tipe burrow  yang terdapat pada bidang permukaan perlapisan  ataupun memotong sejajar dengan perlapisan. Batugamping kelompok ini disebut sebagai Anggota Oyo dari Formasi Wonosari (Bothe, 1929) atau Formasi Oyo (Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk,1994).
      Ke arah lebih muda, Anggota Oyo ini bergradasi menjadio dua Fasies yang berbeda. Di daerah Wonosari, batugamping ini makin ke arah selatan semakin berubah menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone, framestone, dan floatstone, bersifat lebih keras dan dinamakan sebagai Anggota Wonosari dari Formasi Oyo-Wonosari (Bothe, 1929) atau Formasi Wonosari (Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk, 1994). Sedangkan di baratdaya kota Wonosari, batugamping terumbu ini berubah fasies menjadi batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal, dan disebut sebagai Anggota Kepek dari Formasi Wonosari. Anggota Kepek ini juga tersingkap di bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri-Baturetno, di bawah endapan Kuarter seperti yang terdapat di daerah Erokomo. Secara keseluruhan, Formasi Wonosari ini terbentuk selama Miosen Akhir (N9-N18).

            6.         Endapan Kuarter
            Di atas seri batuan sedimen Tersier seperti tersebut di depan terdapat suatu kelompok sedimen yang sudah agak mengeras sehingga masih lepas. Karena kelompok sedimen ini berada di atas bidang erosi, serta proises pembentukannya masih berlanjut hingg saat ini, maka secara keseluruhan sedimen ini disebut sebagai Endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari daerah timurlaut Wonosari hingga daerah depresi Wonogiri-Baturetno. Singkapan yang baik dari endapan kuarter ini terdapat di daerah Erokomo sekitar waduk Gadjah Mungkur, namun pada EGR ini tidak dilewati.
            Secara stratigrafis endapan kuarter di daearh Eropkromo, Wonogriri terletak tidak selaras di atas sedimen Tersier yang berupa batugamping berlapis dari Formasi Wonosari atau breksi polimik dari formasi Nglanggran. Ketebalan tersingkap dari endapan Kuarter tersebut berkisar dari 10 meter hingga 14 meter. Umur endapan Kuarter tersebut diperkirakan Plistosen Bawah.
            Stratigrafi endapan kuarter di daerah Erokomo, Wonogiri secara vertikal tersusun dari perulangan antara tuf halus putih kekuningan dengan perulangan gradasi batuipasir kasar ke batupasir sedang dengan lensa-lensa konglomerat. Batupasir tersebut berstruktur silangsiur tipe palung, sedangkan lapisan tuf terdapat di bagian bawah tengah dan atas. Pada saat lapisan tuf terbentuk, terjadi juga aktivitas sungai yang menghasilkan konglomerat.

II.2.2    Stratigrafi Pegunungan Selatan bagian timur
      Secara umum stratigrafi Pegunungan Selatan bagian timur tersusun oleh 5 formasi (Sartono, 1958), masing-masing dari tua ke muda adalah:
  1. Formasi Besole
  2. Formasi Jaten
  3. Formasi Wuni
  4. Formasi Nampol
  5. Formasi Punung
1.   Formasi Besole
                  Formasi Besole terdiri dari batuan beku, yang berupavariasi dari tonalit, dasit, andesit dan tuf dasit. Penyebarannya cukup luas dan hampir meliputi Pegunungan Selatan Jawa Timur secara kieseluruhan. Formasi Besole dengan Formasi Andesit Tua di Kulonprogo menunjukkan umur yang sama yaitu Oligosen. Sedangkan padananya untuk Pegunungan Selatan bagian barat adalah Formasi Kebo-Butak. Formasi Besole ini terletak tidak selaras di bawah Formasi Jaten.

  1. Formasi Jaten
                  Formasi ini mempunyai wilayah tipe di kali Jaten, Kabupaten Pacitan. Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari pasir kuarsa berbutir kasarm lapisan-lapisan tipis lignit, petrified wood dan gravel. Bagian tengah terdiri dari batu lanau berselang-seling dengan lempung hitam, lapisan lignit dan endapan gravel. Bagian atas tersusun oleh lempung hitam mengandung gastropoda, pelecypoda, fragmen koral dan bryozoa. Umur Formasi ini adalah Oligisen-Miosen. Ketebalan di Punung antara 25-150 meter, yang diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Besole. Secara umur, Formasi ini sepadan dengan Formasi Semilir di Pegunungan Selatan bagian barat.

  1. Formasi Wuni
                  Wilayah tipe formasi inbi ada di Sungai Wuni, anak Sungai Baksoka. Penyusunannya terdiri dari breksi agglomerat berselingan dengan batupasir tufaan berbutir kasar dan batulanau, terdapat batugamping terumbu koral pada bagian atas. Umur berdasarkan fauna koral adalah Miosen Bawah. Menurut tim Lemigas Formasi Wuni ini berumur N9-N12 (Miosen Tengah) didasarkan atas ditemukannya Globorotalia siakinesis. Globigerinoides tribolus dan Globorotalia praebuloides. Ketebalan Formasi Wuni di daerah Punung berkisar 150-200 meter.Terletak selaras di atas Formasi Jaten dan selaras pula di bawah Formasi nampol. Kesebandingan umur Formasi Wuni ini adalah setara dengan Formasi Nglanggran.

  1. Formasi Nampol
                  Formasi ini mempunyai wilayah tipe di Sungai nampol, tersusun oleh agglomerat, konglomerat, batupasir, batulanau, batulempung, tufa dan lignit. Terdapat fosil Elphidium craticulacum, Rotalia beccari dan Moluska yang secara keseluruhan merupakan penciri laut yang sangat dangkal. Berumur Miosen bagian atas. Di daerah Punung Formasi ini mempunyai ketebalan 58-60 meter. Terletak selaras di atas Formasi Wunu. Formasi Nampol ini mempunyai umur sepadan dengan Formasi Sambipitu.

  1. Formasi Punung
                  Formasi yang secara umum terdiri dari batugamping ini mempunyai wilayah tipe di daerah Kecamatan punung, Kabupaten Pacitan. Sebagai suatu kesatuan, formasi ini menunjukkan 2 fasies, yaitu fasies batugamping dan fasies klastik. Fasies batugampingnya meliputi terumbu koral, batugamping nepalan, batugamping tufaan, batugamping berlapis dan konglomerat batugamping. Fasies klastiknya terdiri atas batupasir tufaan. Terdapat fosil koral, pelecypoda, gastropoda, algae, foraminifera dan echinoidea. Berumur Miosen Tengah bagian bawah. Di daerah Punung Formasi ini mempunyai ketebalan antara 200-300 meter. Kedudukan stratigrafinya adalah tidak selaras dengan formasi lain yang lebih tua. Formasi Punung ini sepadan dengan Formasi Wonosari.

II.3    Struktur Geologi Regional
            Struktur daerah ini memiliki arah poros lipatan lebih kurang timurlaut – baratdaya. Disamping perlipatan terdapat juga persesaran, berdasarkan data geofisika terdapat sesar dengan arah timurlaut baratdaya melalui tepi timur Terban–Bantul (Untung, dkk, 1977). Berdasarkan data di atas juga data di lapangan dapat disimpulkan, bahwa lembar Yogyakarta terdapat dua sistem sesar. Sistem patahan dengan arah kurang lebih tenggara baratlaut. Pada awal Pleistocen, seluruh daerah terangkat lagi yang mengakibatkan pembentukan morfologi daerah dataran tinggi, dan mengakibatkan terjadinya persesaran daerah ini ( Raharjo, dkk, 1977).

Geologi Regional Kulon Progo


GEOLOGI REGIONAL KULON PROGO
Daerah pemetaan kami, yaitu daerah Wates-Pengasih, secara regional daerah kami masuk kedalam wilayah kabupaten Kulon Progo , kecamatan pengasih dan kecamatan wates Daerah Istimewa Yogyakarta.
Secara geologi regional daerah kami termasuk kedalam Kulon Progo, yang merupakan sebuah plato besar Jongglarangan. Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa Tengah bagian selatan, yaitu zona plato. Bagian utara dan timur Kulon Progo ini dibatasi oleh dataran pantai Samudera Indonesia dan bagian barat laut berhubungan dengan Pegunungan Serayu Selatan.
Kulon Progo berasal dari daerah up lafi yang luas dan kemudian membentuk Dome yang luas. Dome tersebut berbentuk relief persegi panjang dengan diameter berarah utara-selatan mencapai 30km, sedangkan pada arah barat-timur diperkirakan mencapai 15-20km. Puncak dari dome tersebut berupa dataran yang sangat luas, disebut plato.
Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah kabupaten Kulon Progo dibagi menjadi beberapa satuan morfologi, yaitu :
  1. Satuan Pegunungan Kulon Progo
Satuan pegunungan ini penyebarannya memanjang dari selatan ke utara dan menempati bagian Daerah Istimewa Yogyakarta, yang meliputi kecamatan Kokap, Girimulyo dan Samigaluh. Kelerengannya  berkisar antara 15o-600 daerah yang ditempati pegunungan Kulon Progo ini sebagian besar digunakan sebagai kebun, sawah dan pemukiman.
  1. Satuan Perbukitan Sentolo
Satuan Perbukitan ini mempunyai penyebaran yang sempit, karena terpotong oleh Sungai Progo yang memisahkan wilayah kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. Di wilayah Kabupaten Kulon Progo , satuan pegunungan Sentolo ini meliputi daerah kecamatan Pengasih dan Sentolo. Ketinggiannya berkisar antara 50-150 m di atas permukaan air laut, dengan kelerengan 150. Daereh inilah yang menjadi daerah pemetaan kami.
  1. Satuan teras Progo
Satuan Teras Progo terletak di sebelah utara satuan Perbukitan Sentolo dan di sebelah timur pegunungan Kulon Progo yang meliputi kecamatan Nanggulan, Kalibawang, terutama di wilayah tepi Kulon Progo.
  1. Satuan Dataran Aluvial
Penyebaran satuan dataran aluvial ini memanjang dari barat-timur yang meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Glur, dan sebagian besar diperuntukan sebagai lahan persawahan dan pemukiman.
                                              
  1. Satuan Dataran Pantai
a)     Sub satuan Gumuk Pasir
Subsatuan Gumuk Pasir mempunyai penyebaran di sepanjang pantai selatan Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan Congot. Sungai yang bermuara di pantai selatan ini adalah kali Serang dan kali Progo yang membawa material – material berukuran pasir dari hulu ke muara. Oleh sebab itu aktivitas angin material tersebut terendapkan di sepanjang pantai dan kemudian membentuk gumuk – gumuk pasir.
b)     Subsatuan Dataran Aluvial Pantai
Subsatuan dataran aluvial pantai terletak di sebelah utara subsatuan Gumuk Pasir yang tersusun oleh material berukuran pasir yang berasal dari subsatuan Gumuk Pasir oleh kegiatan angin. Pada satuan ini tidak dijumpai gumuk –gumuk pasir dan sebagian berupa persawahan dan pemukiman.
Formasi ini merupakan batuan tertua di pegunungan Kulon Progo dengan lingkungan pengendapanya adalah litorial pada fase genang laut (van Bammelen). Litologi penyusunya terdiri dari batu pasir dengan sisipan lignit, napal pasiran , batu lempung dengan konkresi limonit, sisipan napal dan batu gamping, batu pasir dan tuff kaya akan foriminifera dan moolusca, diperkirakan ketebalannya 350 m. Wilayah tipe formasi ini tersusun oleh endapan laut dangkal, batu pasir, serpih dan perselingan napal dan lignit. Berdasarkan atas studi Foraminifera plankton maka formasi Nanggulan ini mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah hingga Oligosen. Formasi ini tersingkap di bagian timur Kulon Progo, di daerah Sungai Progo dan Sungai Puru, terbagi menjadi 3, yaitu :
a. Axinea Beds yaitu formasi yang terletak paling bawah  dengan ketebalan 40 meter, merupakan tipe endapan laut dangkal yang terdiri dari batupasir, batuserpih dengan perselingan napal dan lignit yang semuanya berfasies litoral. Axinea Beds ini banyak mengandung fosil Pelecypoda.
b. Yogyakarta Beds yaitu formasi yang terendapkan secara selaras di atas Axinea Beds dengan ketebalan 60 meter. Terdiri dari napal pasiran berselang – seling dengan batupasir dan batulempung yang mengandung Nummulities Djogjakartae.
c. Discocyclina Beds yaitu formasi yang diendapkan secara selaras di atas Yogyakarta Beds dengan ketebalan 200 meter. Terdiri dari napal dan batugamping berselingan dengan batupasir dan serpih. Semakin ke atas bagian ini berkembang, kandungan foraminifera planktonik yang melimpah.
2. Formasi Andesit Tua
 Formasi Andesit Tua mempunyai litologi berupa breksi andesit, tuff, aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Kepingan tuff napalan yang merupakan hasil rombakan dari lapisan yang lebih tua dijumpai di kaki gunung mudjil, di dekat bagian bawah formasi ini. Ketebalan sekitar 660 m.
3. Formasi Jonggrangan
Litologinya bagian bawah terdiri dari konglomerat, napal tufan, dan batupasir gampingan dengan kandungan Moluska serta batulempung dan sisipan lignit. Di bagian atas komposisi Formasi ini berupa batu gamping berlapis dan batugamping koral. Morfologi yang terbentuk dari batuan penyusun formasi ini berupa pegunungan dan perbukitan kerucut dan tersebar di bagian utara pegunungan Kulonprogo. tebal lapisan ini 250-400 meter, umurnya miosen bawah- tengah.
4. Formasi Sentolo
    Diendapkan secara tidak selaras. Litologinya batugamping dan batupasir napalan. Bagian bawahnya terdiri dari konglomerat yang ditumpangi oleh napal tufaan dengan sisipan tuff. Bagian atas batugamping yang kaya foraminifera. ketebalannya 950 meter.
5. Endapan Aluvial dan Gugus Pasir
    Endapan Aluvial ini terdiri dari kerakal, pasir, lanau, dan lempung sepanjang sungai yang besar dan dataran pantai. Aluvial sungai berdampingan Aluvial rombakan bahan vulkanik. Gugus pasir sepanjang pantai telah dipelajari  sebagai sumber besi.
 6.    Vulkanik Merapi Tua
        Vulkanik Marapi Tua berumur Pleistosen atas. Vulkanik Marapi Tua tersusun atas breksi anglomerat dan lelehan lava, termasuk andesit dan basalt yang mengandung olivin. Vulkanik Merapi Tua  berdasarkan metode C-14 berumur antara 43590 sampai 2870 sebelum tahun 1950.
7.   Vulkanik Merapi Muda
      Vulkanik Merapi Muda berumur Pleistoen Atas, vulkanik ini tersusun oleh material hasil rombakan  endapan merapi Tua berupa endapan tufa, pasir dan breksi yang terkonsolidasi lemah. Berdasarkan metode C-14 berumur sekitar 1700 sampai 340  sebelum tahun 1950
8.      Formasi Sleman
Merupakan kenampakan bagian bawah dari unit vulkanik klastik  hasil vulkanik merapi termuda (Mac Donald & Partners, 1984). Batuan penyusun berupa pasir dan kerikil diselingi bongkah-bongkah.  Formasi ini dari utara ke selatan semakin tebal. Formasi Sleman materialnya berasal dari rombakan hasil erupsi Merapi.
9.      Formasi Yogyakarta-Wates
Formasi Yogyakarta mempunyai penyebaran di bagian timur pegunungan Kulon Progo dengan kenampakan morfologi berupa daratan. Komonen penyusun formasi ini berupa material lepas produk Gunung Merapi Tua dan Merapi Muda
Secara struktur, Pegunungan Kulon Progo merupakan dataran tinggi yang dicirikan oleh adanya kompleks gunung api purba yang berada di atas batuan berumur Paleosen dan ditutup oleh batuan karbonat yang berumur Neosen.
Secara garis besar struktur geologi daerah Kabupaten Kulon Progo dapat dibagi menjadi dua yaitu Struktur Dome dan Struktur Unconfirmity.
1.      Struktur Dome
                  Kabupaten Kulon Progo termasuk ke dalam daerah dome yang puncaknya berupa daratan yang luas, biasa disebut Plato Jonggrangan. Proses geologi yang banyak terjadi yakni orogenesis.
2.      Struktur Unconfirmity
                  Pada perbatasan antara Eosen atas dari Formasi Nanggulan dengan Formasi Andesit Tua yang berumur Oligosen terdapat ketidakselarasan berupa disconfirmity, karena lapisan lebih muda dengan lapisan lebih tua terpaut umur yang sangat jauh walaupun lapisannya sejajar. Kenampakan telah dijelaskan dalam stratigrafi regional berupa formasi andesit tua yang diendapkan tidak selaras di atas formasi Nanggulan, formasi Jonggrangan diendapkan secara tidak selaras diatas formasi Andesit Tua, dan formasi Sentolo yang diendapkan secara tidak selaras diatas formasi Jonggrangan.
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, Van., 1948, The Geologi of Indonesia, Batavia.